Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar
Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar
A.
Desain
dan Konsep Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar
Sastra
merupakan karangan faktual imajinatif yang bersifat menyenangkan dan bermanfaat
yang disusun pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai media utamanya. Tidak
hanya di pendidikan tinggi, sastra juga diajarkan di seklah dasar. Pengajaran
sastra di sekolah dasar (SD) diarahkan terutama pada proses pemberian
pengalaman bersastra. Siswa diajak untuk mengenal bentuk dan isi sebuah karya
sastra melalui kegiatan mengenal dan mengakrabi cipta sastra sehingga tumbuh
pemahaman dan sikap menghargai cipta sastra sebagai suatu karya yang indah dan
bermakna (Resmini, ). Pengajaran sastra untuk sekolah dasar menurut Huck dalam
Djuanda (2014), terutama kelas-kelas awal, difokuskan pada tahap pertama yaitu
kesenangan yang tidak disadari (unsconscious
enjoyment).
Secara
umum, jenis sastra terbagi atas tiga bentuk, yaitu prosa, puisi, dan drama.
Ketiga bentuk tersebut memiliki ciri dan otonomi yang berbeda. Bentuk-bentuk
tersebut dapat dibedakan berdasarkan format teks/struktur, bahasa, dan bangun
sastranya (mode). Jenis-jenis sastra tersebut dapat digunakan sebagai materi
pembelajaran sastra semua jenjang pendidikan. Dari bentuk-bentuk sastra
tersebut, umumnnya anak-anak menyenangi hal-hal yang fantastic, petualangan,
kepemimpinan, keberanian, dan peristiwa-peristiwa aneh.
Prinsip-Prinsip
pembelajaran sastra menurut Rosenblat:
1. Peserta
didik diberikan kebebasan untuk menampilkan respon dan reaksinya terhadap karya
sastra.
2. Siswa
harus diberikan kesempatan mempribadikan dan mengkristalisasikan rasa pribadinya
terhadap karya sastra.
3. Guru
harus mampu menemukan butir-butir kontak antara pendapat peserta didik.
4. Peranan
atau pengaruh guru harus merupakan daya dorong pada saat siswa melakukan
eksplorasi.
Sastra
yang diajarkan pada anak usia sekolah dasar yaitu tergolong dalam jenis sastra
anak. Sastra anak-anak sarat dengan
nilai, baik nilai personal maupun nilai pendidikan. Nilai personal yang
dimaksud di antaranya : (1) memberikan kesenangan dan kenikmatan, (2)
mengembangkan imajinasi, (3) memberikan pengalaman yang benar-benar dapat
dihayati (vicarious experience), (4) mengembangkan pandangan ke arah perilaku
manusia, (5) menyuguhkan pengalaman-pengalaman yang bersifat universal.
Sedangkan nilai pendidikan yang dapat diserap anak-anak dari karya sastra, (1)
membantu perkembangan bahasa, (2) mengembangkan kemampuan membaca,(3)
mengembangkan kepekaan terhadap cerita,(4) meningkatkan kelancaran membaca, dan
(5) meningkatkan kemampuan menulis.
Menurut
Lukes (dalam Nurgiyanto, 2004), secara garis besar genre sastra anak yakni
realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional, puisi, dan nonfiksi.
1. Realisme.
Peristiwa didalam cerita ini logis dan masuk akal. Akan tetapi, cerita ini bisa
saja ada dan benar-benar bisa juga tidak. Contohnya: cerita realistic, realism
binatang, realism histori, dan cerita olahraga.
2. Fiksi
formula. Genre ini memiliki pola-pola tertentu sehingga berbeda dari yang lain.
Contohnya yaitu cerita misted dan detektif, novel serial, dan sebagainya.
3. Fantasi.
Cerita fantasi adalah cerita yang tidak nyata. Cerita ini berlandaskan
imajinasi penulis yang mencoba menghadirkan dunia lain di samping dunia
realitas. Jenis sastra anak yang dapat dikategorikan fantasi adalah cerita
fantasi dan fiksi sains.
4. Sastra
tradisional. Contohnya: fabel, dongeng rakyat, mitologi (mitos), legenda.
5. Puisi.
Puisi adalah suatu bentuk sastra yang memiliki pendayagunaan berbagai unsur
bahasa untuk mencapai aspek keindahan. Contoh puisi anak diantaranya
lirik-lirik lagu anak tradisional, puisi naratif, dan puisi tradisional.
Sedangkan
menurut Tata Hartini (2016) menyebutkan bahwa jenis sastra anak terdiri dari
buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah, fiksi ilmiah, cerita fantasi,
biografi, dan puisi.
Pada
hakikatnya, sastra anak meliputi semua jenis penulisan kreatif dan imajinatif
yang khusus dibaca dan menghibur anak-anak. Sastra anak-anak bukan dibatasi
oleh siapa pengarangnya, melainkan untuk siapa karya itu diciptakan. Sastra
anak berisikan cerita-cerita yang mencerminkan perasaan anak-anak, pengalaman
anak-anak sesuai dengan pengetahuan anak-anak, serta sastra anak menempatkan
anak-anak sebagai fokusnya (Hartati, 2016).
Pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Dasar lebih diarahkan pada kompetensi
siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pelaksanaannya, pembelajaran
sastra dan bahasa dilaksanakan secara terintegrasi. Pembelajaran sastra
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan
memahami karya sastra. Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai penunjang
dalam mengapresiasi.
Strategi
yang dapat digunakan untuk mengajarkan pembelajaran sastra di Sekolah Dasar
yaitu denga bercerita, berbicara, bercakap-cakap, mengungkapkan pengalaman,
membaca puisi, mengarang terikat & bebas, menulis laporan, menulis narasi,
menulis deskripsi, menulis eksposisi, menulis argumen, menulis berdasarkan
gambar/visual, serta mendramatisasikan karya sastra. Sedangkan metode
pembelajaran sastra di sekolah dasar yang bisa diterapkan yaitu menggunakan
metode menyimak, membaca (nyaring, dalam hati, bersama, dll), menonton,
mengarang, roleplaying, bermain
drama, dan parafrase. Salah satu model pembelajaran sastra yang dapat digunakan
yaitu model sinetik. Model sinetik merupakan model pembelajaran sastra yang
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menuangkan ide dan gagasan
tanpa memikirkan tata bahasa, cara mengawali dan lain-lain. Inti dari model
pembelajaran sinetik ini adalah aktifitas metafora yang meliputi analogi
personal, analogi langsung, dan konflik padat. Dalam implementasinya, suatu
karya sastra akan dipahami melalui proses metaforik dengan analogi.
Tujuan
utama pembelajaran sastra di sekolah dasar yaitu agar siswa mampu mengapresiasi
suatu karya. Pembelajaran apresiasi sastra akan meningkatkan ketajaman
perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya,
dan lingkungan hidup. Menurut Huck dkk (1987) dalam Djuanda (2014) mengatakan
bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberikan pengalaman pada murid yang
akan berkontribusi pada empat tujuan, yakni:
a. Menumbuhkan kesenangan
pada buku. Salah satu cara terbaik untuk membuat
siswa tertarik kepada buku menurut Huck (1987) ialah memberi siswa lingkungan
yang kaya dengan buku-buku yang bai.
b. Menginterpretasi bacaan
sastra. Membantu siswa dalam menginterpretasi
bacaan dengan cara mengidentifikasi para pelaku yang ada pada cerita. Hal itu
dapat dilakukan dengan mendramatisasikan adegan tertentu yang ada pada buku
cerita. Kegiatan dramatisasi adegan cerita selain menguatkan pemahaman pada
cerita juga akan melatih mereka bersosialisasi.
c. Mengembangkan kesadaran
bersastra. Siswa harus diarahkan untuk menemukan elemen-elemen sastra secara
berangsur-angsur, karena elemen-elemen itu memberikan bekal bagi siswa dalam
pemahaman makna cerita atau puisi. Dengan demikian guru harus menguasai
pengetahuan tentang bentuk-bentuk cerita, elemen-elemen cerita, dan pengetahuan
tentang pengarang.
d. Mengembangkan apresiasi.
Manfaat pembelajaran sastra untuk
siswa SD yaitu siswa dapat menerima nilai-nilai, baik intrinsik maupun
ekstrinsik. Selain itu, sastra juga dapat memberikan nilai personal, yaitu :
a. Kesenangan
dan kenikmatan
b. Mengembangkan
imajinasi
c. Memberikan
pengalaman yang dirasakan
d. Mengembangkan
ke arah perilaku manusia (budi pekerti)
e. Memberi
pengalaman universal.
Sedangkan
untuk manfaat berdasarkan nilai pendidikan, yaitu:
a. Membantu
perkembangan bahasa
b. Mengembangkan
kemampuan membaca
c. Mengembangkan
kepekaan terhadap cerita
d. Meningkatkan
kelancaran membaca
e. Meningkatkan
kemampuan menulis.
Ciri-Ciri
sastra Anak menurut Puryanto (dalam Dilla, 2019) yaitu:
a. Mengandung tema yang mendidik.
b. Alurnya lurus dan tidak berbelit-belit.
c. Menggunakan setting yang ada disekitar atau yang ada di dunia anak.
d. Tokoh dan penokohan mengandung keteladanan yang baik.
e. Gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu berperan dalam perkembangan bahasa
anak.
f.
Sudut pandang orang yang
tepat.
g. Imajinasi masih dalam jangkauan anak-anak.
h. Isi teks kesastraan dapat menambah wawasan anak
Kriteria
yang harus dimiliki guru dalam pembelajaran sastra anak sebagai beriku.
1. Memahami
karakteristik peserta didik mencakup tingkat apresiasi, minta, bakat, aspirasi,
dan kesulitan.
2. Sebagai
pendidik, seornag guru harus menguasai bahasa (sederhana, konkret) dan relevan
dengan kehidupan anak.
3. Memahami
kurikulum bahasa dan sastra indonesia
4. Memahami
sejarah dan teori sastra indonesia
5. Memahami
jenis sastra daerah
6. Memiliki
apresiasi sastra yang tinggi, baik sastra indonesia, sastra daerah, maupun
asing.
Pengajaran
Apresiasi Puisi
Pada dasarnya puisi anak-anak dan
puisi orang dewasa hanya sedikit perbedaannya. Hal utama yang membedakan adalah
dari segi bahasa, tema dan ungkapan gejolah emosi yang digambarkan. Puisi anak
dilihat dari dunia citraannya digambarkan dalam things (gambaran sesuatu) dan sign
yang sesuai dengan pengalaman anak. Dalam proses pemahaman bacaan sastra untuk
anak-anak sekolah dasar dikenal tiga jenis cara atau teknik yaitu: (1) teknik bottom up, (2) teknik top down, dan (3) model interaktif. Dari ketiga teknik tersebut
yang cocok digunakan untuk memahami puisi anak adalah model interaktif yaitu
pemahaman sebagai hasil dekoding dan dengan menghubungkan skema isi yang
dimiliki.
Sign dalam puisi yang merupakan print
out atau sistem tanda harus ditafsirkan sehingga hadir interpretasi. Dalam
menginterpretasi ini pemahaman anak ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan
atau skemata isi yang dimilikinya (Prior Knowledge). Proses membaca puisi
ditandai oleh formulasi hipotesis menyangkut pengertian-pengertian dalam bacaan
disertai proses pemahaman kata-kata atau system tanda lain dalam bacaan.
Pengajaran apresiasi secara ekspresif
dapat mengarahkan siswa pada kegiatan pengungkapan ide, gagasan, dan
perasaannya lewat pilihan kata yang tepat. Pada implementasinya di kelas siswa
dapat diarahkan untuk memulai penulisan puisinya melalui penyusunan kata
menjadi bentuk cinquain, haiku, alitostik, dan yang lainnya.
B. Desain dan Konsep
Pembelajaran Sastra ditinjau dari Kurikulum 2013
Pembelajaran
sastra dalam Kurikulum 2013 terintegrasi
ke dalam mata pelajaran bahasa Indoensei, atau menganut pembelajaran terpadu. Materi
pembelajaran sastra dalam Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 yang terintegrasi
dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut: Materi di kelas I
terdapat materi mengenal teks cerita
diri dan menyajikan teks cerita diri. (3.4 dan 4.4), Materi kelas II ada materi
mengenal teks lirik puisi dan melantunkan atau menyajikan teks lirik puisi (3.4
dan 4,4). Materi kelas III, ada materi menggali informasi dari teks dongeng dan
menyampaikan teks dongeng (3.4 dan 4.4). Materi di kelas IV, ada materi
menggali informasi dari teks cerita petualangan dan menyajikan teks cerita
petualangan (3.4 dan 4.4). Materi di kelas V ada materi menggali informasi dari
teks pantun dan syair dan melantunkan dan menyajikan teks pantun dan syair (3.4
dan 4.4). Materi di kelas VI, ada materi menggali informasi teks fiksi sejarah
dan mengolah dan menyajikan teks cerita fiksi sejarah (3.4 dan 4.4).
C.
Desain
dan Konsep Pembelajaran Sastra di Era Digital
Era
digital merupakan suatu masa di mana sebagian besar masyarakat pada era
tersebut menggunakan sistem digital dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam
perkembangan teknologi digital ini tentu banyak dampak yang dirasakan dalam era
digital ini, baik dampak postif maupun dampak negatifnya. Dampak positif era
digital antara lain: a) Informasi yang dibutuhkan dapat lebih cepat dan lebih
mudah dalam mengaksesnya. b). Tumbuhnya inovasi dalam berbagai bidang yang
berorentasi pada teknologi digital yang memudahkan proses dalam pekerjaan kita.
c). Munculnya media massa berbasis digital, khususnya media elektronik sebagai
sumber pengetahuan dan informasi masyarakat. d). Meningkatnya kualitas daya
manusia melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi. e). Munculnya berbagai sumber belajar seperti perpustakaan online,
media pembelajaran online,diskusi online yang dapat meningkatkan sumber.
Pada
era digital yang identik dengan Abad 21, setiap manusia termasuk siswa dituntuk
untuk mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan yang mesti dimiliki pada
Abad ke-21 ini. Keterampilan-keterampilan tersebut diantaranya Berfikir kritis
(critical thinking), kreativitas (creativity), komunikasi (communication), dan kolaborasi (collaboration).
1.
Prinsip
Pembelajaran Sastra Digital
Menurut Siemes dalam
Firmansyah (2018) terdapat tiga prinsip pembelajaran sastra digital, yakni
tradisi, tekstualitas, dan metodologis. Dimensi tradisi dimaknai sebagai adanya
perubahan tradisi dari sebelumnya offline (luring) menjadi online (daring).
Sistem teknologi digital perlu dikuasai individu agar dapat melaksanakan
pembelajaran sastra digital. Dimensi tekstualitas berkaitan dengan pemusatan
perhatian. Dimana, penentuan teks berdasarkan beberapa model (eksplisit atau
implisit) dari bagian penting teks dan struktur kerja teks yang mendahului
aspek-aspek tertentu. Dimensi metodologis berkaitan dengan model penjelajahan
sastra digital untuk mengakses dan memecahkan desain, tipikal ideal, pola dasar
dalam sastra tersebut. Aspek metodologis merupakan jembatan untuk memahami
objek sastra digital, mengapresiasi maknanya terutama yang terkait dengan
cara-cara mengakses dan memecahkan permasalahan.
2.
Konsep
Pembelajaran Sastra Digital
Pembelajaran sastra
digital mengacu pada teori belajar konstruktivisme. Teori tersebut mengemukakan
bahwa peserta didik membangun pengetahuan dan makna dari pengalaman mereka
(Henriksen, 2017; Smith, 2015). Karena peserta didik memiliki latar belakang,
pengalaman, dan keterampilan yang luas, pengetahuan dibangun secara individual
saat peserta didik bekerja untuk memahami masalah yang mereka hadapi. Tiga
prinsip teori belajar konstruktivisme, yakni: (1) pengalaman pribadi, (2)
pembelajaran aktif, dan (3) interaksi sosial.
Tujuan pembelajaran
sastra digital yakni menciptakan kesadaran dalam mengembangkan potensi diri
untuk menjadi intelektual secara aktif serta mengembangkan potensi melalui
pembelajaran sastra digital dengan penelusuran kebenaran ilmiah. Tujuan belajar
tersebut dapat tercapai jika pembelajaran diarahkan pada pembelajaran sepanjang
hayat (Sudarsana, 2016). Mewujudkan pembelajaran sepanjang hayat dilakukan
melalui pengembangan bahan ajar yakni melalui sastra digital (sastra mutakhir)
dengan melibatkan referensi daring maupun luring. Pendukung di luar
pembelajaran juga dikenalkan kepada peserta didik tentang pentingnya interaksi
sosial terhadap keluarga, lembaga bisnis serta lembaga lain dalam masyarakat
yang turut serta mendukung pembelajaran sastra digital.
3.
Assesmen
Pembelajaran Sastra Digital
Asesmen merupakan suatu
proses yang berkelanjutan dan mencakup domain yang lebih luas. Saat peserta
didik merespon pertanyaan, memberikan komentar, atau mencoba-coba dengan
struktur baru, saat itulah sebenarnya pendidik telah melakukan asesmen terhadap
performen peserta didik. Pengukuran adalah proses untuk mendapatkan pemerian
kuantitatif mengenai tinggi rendahnya pencapaian seseorang dalam suatu
pembelajaran bahasa (Wahyuni, 2012). Tes adalah alat, prosedur, atau rangkaian
kegiatan yang digunakan untuk memperoleh contoh tingkah laku seseorang yang
memberikan gambaran tentang kemampuannya dalam suatu bidang ajaran tertentu
(Wahyuni, 2012). Tes merupakan prosedur administratif yang dilaksanakan pada
waktu yang telah direncanakan dalam suatu kurikulum ketika pendidik sudah
melewati semua proses PBM untuk mengetahui performen akhir. Oleh karena itu,
ketika hendak mengadakan evaluasi pembelajaran sastra digital maka keempat
istilah tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena keempatnya memiliki
hubungan yang erat.
Referensi
:
Dilla
F. (2019). Pembelajaran Sastra Sekolah
Dasar. :Samudra Biru
Djuanda,
D. (2014). Pembelajaran Sastra di SD dalam Gamitan Kurikulum 2013. Mimbar Sekolah Dasar, 1(2), hlm 191-200.
Firmansyah,
M.B. (2018). Konseptualisasi Pembelajaran Sastra Digital. Jurnal Ilmiah Edukasi & Sosial, 9(1), hlm. 21-27.
Henriksen,
L. B. (2017). Change, concepts and the conceptualising method. Proceedings of Pragmatic Constructivism,
6(2), 29-33.
Sudarsana,
I. K. (2016). Pemikiran Tokoh Pendidikan Dalam Buku Lifelong Learning:
POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di
Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu,
2, 44–53. https://doi.org/ 10.25078/jpm.v2i2.71
Wahyuni,
S., & Ibrahim, S. (2012). Asesmen
pembelajaran bahasa. Bandung: Refika Aditama.
https://www.edukasiku.com/2020/06/jenis-jenis-sastra-anak.html
https://pusatbahasaalazhar.com/2010/07/08/sastra-untuk-anak-sekolah-dasar/comment-page-1/
Comments
Post a Comment